Hari Asyura dan Amalannya
hero

Hari Asyura dan Amalannya

9 July 2024 |Artikel

Hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram merupakan hari istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia. Memang, bulan Muharram sendiri memiliki keutamaan khusus karena termasuk salah satu dari empat bulan haram yang penuh keberkahan.

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Mukasyafah Al-Qulub mencatat sebuah pertanyaan dari Umar bin Khattab RA kepada Rasulullah SAW tentang mengapa Allah SWT memuliakan hari Asyura. Rasulullah SAW kemudian menjelaskan bahwa pada hari Asyura, Allah SWT menciptakan langit beserta lapisannya, bumi, dan Kitab Lauhul Mahfuzh. 

Selain itu, pada hari yang sama Allah SWT menciptakan Malaikat Jibril dan seluruh malaikat lainnya serta Nabi Adam AS dan Hawa. Hari Asyura juga mencatat sejumlah peristiwa penting lainnya dalam sejarah umat manusia. 

puasa asyura adalah salah satu amalan yang bisa dilakukan saat bulan Muharram

Pada hari tersebut, Nabi Isa AS dan Nabi Idris AS diangkat ke langit, dan Nabi Adam AS menerima ampunan dari Allah SWT. Peristiwa lainnya termasuk perahu Nabi Nuh AS yang berlabuh di puncak gunung dan Allah SWT mengabulkan permohonan Nabi Yusuf AS serta melepaskannya dari penjara. Kisah mengenai pertaubatan kaum Nabi Yunus AS juga diterima oleh Allah SWT pada hari yang penuh berkah ini.


Baca Juga:

Jangan Lewatkan Amalan-Amalan di Bulan Muharram 


Kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amalan baik di bulan Muharram, termasuk melaksanakan puasa 9 Muharram atau puasa Tasua dan Asyura pada tanggal 10 Muharram. Ketahui sejarah puasa Asyura dan doa pada hari yang mulia tersebut.

Sejarah Puasa Asyura

Puasa Asyura memiliki sejarah panjang yang melibatkan beberapa tahapan penting dalam syariat Islam. Tahapan pertama dimulai di Makkah, di mana Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan puasa Asyura tanpa memerintahkan orang lain untuk melakukannya. 

Aisyah radhiyallahu 'anha mengisahkan, “Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa 'Asyura. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa 'Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125).

Tahapan kedua terjadi ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah dan melihat kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura untuk memperingati keselamatan Nabi Musa dari Firaun. 

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan, "Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa 'Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Hari yang kalian berpuasa ini adalah hari apa?' Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, 'Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas berkata, 'Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.' Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa." (HR. Muslim no. 1130).

Pada tahapan ketiga, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa Asyura tidak lagi diwajibkan. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, "Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari 'Asyura. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan." (HR. Muslim no. 1126). Penjelasan ini menunjukkan bahwa puasa Asyura tetap disunnahkan meski tidak diwajibkan lagi.


Baca Juga:

5 Manfaat Berpuasa bagi Tubuh 


Tahapan terakhir menunjukkan niat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membedakan puasa Asyura dari puasa yang dilakukan oleh Ahlul Kitab. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertekad untuk melaksanakan puasa Asyura bersama dengan puasa hari lainnya di tahun berikutnya. Namun, sebelum niat tersebut terlaksana, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. 

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” (HR. Muslim no. 1134). 

Puasa 9 Muharram atau puasa Tasua dimaksudkan sebagai penyempurna puasa Asyura serta pembeda dengan puasa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Puasa Tasua dan Asyura memiliki keutamaan besar dalam menghapus dosa-dosa setahun yang lalu. 

Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Puasa pada hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim no. 1162).

Amalan dan Doa Asyura

Pada tanggal 10 Muharram, umat Islam dianjurkan untuk membaca doa Asyura. Doa ini dijelaskan oleh Alhafiz Kurniawan dalam tulisannya berjudul "Doa Hari Asyura 10 Muharram". Menurut Alhafiz, doa ini dikutip oleh para ulama dari berbagai syarah hadits dan kitab fiqih. 

Lafadz doa Asyura mengandung pujian kepada Allah SWT dan permohonan akan rahmat-Nya. Salah satu bagian dari doa ini berbunyi: "Subhanallah mil-al mizani wa muntahal ‘ilmi wa mablaghar ridla wa adadan ni’ami wa zinatal ‘arsyi", yang artinya Maha Suci Allah sepenuh timbangan, sesempurna ilmu, sepenuh keridhaan, sejumlah nikmat-nikmat, dan sebesar timbangan arsy.

Doa asyura bisa dilantunkan pada bulan Muharram sekitar tanggal 9 atau 10

Keutamaan doa Asyura dijelaskan lebih lanjut dalam kitab "Hasyiyatul Jamal ‘ala Syarhil Manhaj" oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal. Beliau menyebutkan bahwa membaca doa ini pada Hari Asyura memiliki manfaat yang besar. 

Salah satu kutipan dari kitab tersebut mengatakan, "Siapa saja yang membaca doa ini pada Hari Asyura, niscaya tidak mati hatinya pada tahun tersebut. Siapa saja yang selesai ajalnya, Allah tidak mengilhaminya untuk membaca doa tersebut." Hal ini menunjukkan betapa besarnya nilai doa ini dalam menjaga keimanan seseorang sepanjang tahun.

Selain membaca doa, ada beberapa amalan lain yang dianjurkan pada Hari Asyura. Ulil Hadrawi, dalam tulisannya di NU Online berjudul "12 Amalan Bulan Muharram," menyebutkan bahwa bulan Muharram, terutama Hari Asyura, adalah momen yang penuh berkah. 

Amalan-amalan yang dianjurkan meliputi shalat, berpuasa, menyambung silaturahim, bersedekah, mandi, memakai celak mata, berziarah kepada ulama, menjenguk orang sakit, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, mengusap kepala anak yatim, dan membaca Surat al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.

Para ulama juga telah mengklasifikasikan amalan-amalan tersebut dalam bentuk syair untuk memudahkan ingatan. Syekh Abdul Hamid, dalam kitabnya "Kanzun Naja was Surur Fi Ad'iyyati Tasyrahus Shudur," menulis sebuah syair yang berbunyi: "Ada sepuluh amalan di dalam bulan Asyura, yang ditambah lagi dua amalan lebih sempurna. Puasalah, shalatlah, sambung silaturahim, ziarah orang alim, menjenguk orang sakit dan celak mata. Usaplah kepala anak yatim, bersedekah, dan mandi, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlas 1000 kali." Syair ini memudahkan umat Islam untuk mengingat dan mengamalkan kebaikan-kebaikan di bulan Muharram, khususnya pada Hari Asyura.


Baca Juga:

Gembira Bersama Ekspedisi Wisata Yatim YBKB 


Hari Asyura merupakan waktu yang sangat mulia untuk memperbanyak ibadah dan amalan kebaikan. Amalan seperti berpuasa, menyambung silaturahim, bersedekah, dan memperbanyak ibadah lainnya di bulan Muharram adalah langkah nyata untuk meraih ridha Allah serta memperkuat hubungan sosial. 

Namun, sangat penting untuk menguasai ilmunya terlebih dahulu sebelum melakukan ibadah apapun, termasuk memahami dalil-dalilnya. Dengan pengetahuan yang benar, kita dapat menjalankan ibadah dengan tepat dan penuh keyakinan, sehingga setiap tindakan menjadi sarana untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.

 

Baca Juga Artikel Lainnya