Zakat penghasilan yang dikeluarkan setelah mencapai nisab zakat, apakah bisa dijadikan pengurang PPh 21 dalam laporan SPT tahunan? Pertanyaan ini mencuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pajak dan zakat memiliki kesamaan fungsi, yakni untuk meredistribusi pendapatan. Sehingga memungkinkan zakat menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Regulasi ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat serta Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang beberapa kali direvisi, terakhir melalui UU Cipta Kerja. Dengan aturan tersebut, umat Islam yang menunaikan zakat melalui BAZNAS atau LAZ resmi bisa menggunakannya untuk mengurangi pajak terutang.
Kebijakan ini tentu memunculkan beragam respons. Di satu sisi, umat Islam merasa terbantu karena ketaatan mereka dalam berzakat diakui sebagai bagian dari perhitungan kewajiban negara.
Baca Juga:
Macam-Macam Zakat dan Ketentuannya
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar apakah zakat memang bisa disetarakan dengan pajak? Bagaimana hukumnya dalam syariat jika seseorang sudah membayar pajak, apakah ia masih tetap wajib menunaikan zakat? Kita perlu memahami dengan benar pengertian pajak dan zakat serta perbedaannya.
Pengertian Pajak dan Zakat
Secara hukum positif, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan, bersifat memaksa, tanpa imbalan langsung, dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Definisi tersebut dijelaskan dalam menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang terakhir diubah melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Pajak, termasuk PPh 21, menjadi salah satu instrumen utama negara dalam membiayai pembangunan dan kesejahteraan. Sementara itu, zakat berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat.
Secara syar’i, zakat adalah ibadah maliyah ijtimaiyah (ibadah harta sekaligus sosial) yang berfungsi membersihkan jiwa, mensucikan harta, dan menegakkan keadilan sosial. Allah Swt. berfirman:
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60).
Dengan demikian, pajak dan zakat sama-sama berfungsi sosial, tetapi memiliki sumber hukum berbeda. Pajak lahir dari keputusan negara, sedangkan zakat berasal dari ketetapan agama. Keduanya sama-sama wajib ditaati, namun tidak bisa saling menggantikan.
Sejarah Islam mencatat bahwa pada masa Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin, zakat menjadi sumber utama keuangan negara. Non-muslim membayar jizyah sebagai bentuk kontribusi. Pada masa Umar bin Khattab, bahkan dikenalkan pajak tanah (kharaj) sebagai instrumen tambahan.
Di era modern, banyak negara muslim menerapkan sistem zakat nasional, tetapi tetap memungut pajak. Ulama seperti Prof. Muhammad Abu Zahrah menegaskan, pemungutan pajak di samping zakat dibolehkan, asalkan pajak digunakan untuk kemaslahatan. Pandangan Islam tidak menolak pajak, melainkan mengatur agar ia dijalankan dengan adil dan tidak zalim.
Baca Juga:
Cara Menghitung Zakat Penghasilan Saat Akhir Tahun
Indonesia termasuk contoh unik karena zakat diintegrasikan dalam sistem pajak melalui mekanisme pengurang penghasilan kena pajak. Dengan begitu, negara memberikan ruang agar zakat tetap berfungsi sebagai ibadah, sekaligus mendukung kesejahteraan rakyat.
Perbedaan Zakat dan Pajak
Meski sama-sama berkaitan dengan harta, zakat dan pajak berbeda dalam dasar hukum, penerima, besaran, dan dimensi yang melekat padanya. Memahami perbedaan ini akan membantu kita menjalankan kewajiban agama sekaligus tanggung jawab sebagai warga negara dengan bijak.
1. Dasar Hukum
Zakat berlandaskan syariat Islam yang hukumnya wajib bagi umat Muslim, dengan rujukan jelas dalam Al-Qur’an dan hadis. Pajak ditetapkan pemerintah melalui undang-undang dan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang agama.
2. Sifat Kewajiban
Membayar zakat bernilai ibadah dan dalam keimanan mengikat secara agama. Sedangkan pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat administratif dan berhubungan dengan kepatuhan hukum.
3. Tujuan Pemungutan
Zakat bertujuan menyucikan harta, menolong kaum yang membutuhkan, serta menjaga keseimbangan sosial. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan, pelayanan publik, serta kebutuhan negara demi kesejahteraan umum.
4. Objek dan Besaran
Zakat penghasilan dikenakan pada harta tertentu dengan nisab zakat dan kadar yang sudah ditentukan syariat, seperti 2,5% pada zakat mal. Pajak memiliki aturan tersendiri yang ditentukan pemerintah berdasarkan jenis penghasilan, konsumsi, atau aset.
5. Penerima dan Penyaluran
Zakat hanya boleh disalurkan kepada delapan golongan penerima (asnaf) yang telah diatur dalam Al-Qur’an. Pajak tidak dibatasi penerimanya, karena hasil pajak digunakan untuk seluruh lapisan masyarakat melalui berbagai program negara.
6. Pengelola dan Penanggung Jawa
Pengelolaan zakat dapat dilakukan lembaga amil zakat resmi atau secara langsung oleh muzakki kepada mustahik. Sedangkan pajak dikelola penuh oleh negara melalui lembaga perpajakan, dengan mekanisme pengawasan ketat.
Zakat Penghasilan sebagai Pengurang PPh 21
Indonesia termasuk negara yang cukup progresif dalam mengintegrasikan kewajiban agama dengan kewajiban negara. Pasal 22 UU Pengelolaan Zakat menegaskan, zakat yang dibayarkan melalui BAZNAS atau LAZ resmi dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Ketentuan ini juga ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
Secara teknis, zakat penghasilan dapat langsung mengurangi pemotongan PPh 21 karyawan setiap bulan Desember atau dihitung dalam SPT tahunan bagi wajib pajak pribadi. Namun, syarat utamanya adalah zakat harus dibayarkan kepada lembaga yang disahkan pemerintah. Bukti setoran zakat inilah yang menjadi dasar pengurang pajak.
Nisab zakat menjadi patokan penting dalam kewajiban zakat penghasilan. Dalam zakat profesi, ulama menetapkan nisabnya setara 85 gram emas per tahun. Artinya, jika penghasilan bersih seseorang dalam setahun sudah mencapai nilai tersebut, maka wajib berzakat 2,5%.
Konsultan pajak sering mencontohkan perhitungan sederhana. Misalnya seorang pegawai dengan gaji Rp180 juta setahun menunaikan zakat Rp4,5 juta melalui LAZ resmi. Maka, zakat tersebut langsung mengurangi penghasilan kena pajak, sehingga PPh 21 yang dipotong menjadi lebih kecil.
Baca Juga:
Sedekah 1 Juta Al Qur'an Untuk Indonesia
Pertanyaan klasik yang sering muncul adalah jika sudah membayar pajak, apakah masih wajib berzakat? Jawabannya, menurut mayoritas ulama, zakat tetap wajib. Pajak tidak bisa menggugurkan zakat, karena zakat memiliki syarat, nisab, dan tujuan yang tidak dimiliki pajak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa zakat dan pajak adalah dua kewajiban berbeda. Zakat adalah realisasi ketaatan kepada Allah, sementara pajak adalah bentuk ketaatan kepada ulil amri (pemerintah).
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah. Barangsiapa yang menaati pemimpin, maka sungguh ia telah menaati aku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin, maka sungguh ia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, seorang muslim di Indonesia wajib melaksanakan keduanya. Membayar pajak tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan zakat, begitu pula zakat tidak menghapus kewajiban pajak, hanya dapat mengurangi sesuai ketentuan yang berlaku. Kedua kewajiban ini sejatinya saling melengkapi demi terwujudnya kesejahteraan bersama.