Qadha dan Fidyah Puasa Ramadhan
hero

Qadha dan Fidyah Puasa Ramadhan

10 February 2025 |Artikel

Fidyah puasa dapat ditunaikan sesuai ketentuan jika qadha puasa Ramadhan tidak bisa dilakukan. Seperti kita ketahui, puasa di bulan Ramadan adalah kewajiban bagi setiap muslim selama semua syaratnya puasa terpenuhi. 

Allah Swt. menjelaskan melalui firman-NYA tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).

Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah baligh, berakal, dan mampu menjalankannya. Ibadah ini diperintahkan dalam Al-Qur'an sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah Swt.

Dengan kata lain, hukum tidak puasa tanpa alasan syar’i adalah haram. Namun, ada beberapa kondisi yang mendapatkan keringanan dari Allah Swt. untuk melakukan qadha atau mengganti puasa Ramadhan di hari lain maupun membayar fidyah puasa.

Siapa Saja yang Boleh Tidak Puasa?

Islam memberikan keringanan bagi mereka yang berada dalam kondisi tertentu sehingga tidak mampu menjalankan ibadah puasa. Keringanan ini mencerminkan sifat rahmat dan kemudahan dalam ajaran Islam yang tidak membebani umatnya di luar batas kemampuan.

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185).


Baca Juga:

Pahala dan Keutamaan Memberi Makan untuk Orang yang Berpuasa


Berikut ini empat golongan orang yang mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa:

1. Orang yang Sakit

Seseorang yang sedang sakit diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika sakitnya menyebabkan kesulitan yang berat atau memperparah kondisinya. Para ulama sepakat bahwa orang yang mengalami penyakit serius yang mengancam kesehatannya boleh meninggalkan puasa. Namun ketika sembuh, ia wajib mengganti puasa Ramadhan di hari lain. 

"Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185).

Orang sakit dibagi menjadi beberapa kondisi. Jika sakitnya ringan dan tidak berpengaruh pada kemampuannya berpuasa, maka ia tetap wajib berpuasa. Namun, jika sakitnya bisa bertambah parah dengan berpuasa, maka lebih baik baginya untuk berbuka. Sedangkan jika berpuasa dapat membahayakan nyawanya, maka haram baginya untuk berpuasa. 

2. Musafir

Musafir yang melakukan perjalanan jauh diberikan keringanan untuk berbuka. Jika perjalanan itu memenuhi syarat yang membolehkan qasar salat, maka hukum tidak puasa bagi orang tersebut juga diperbolehkan. 

Namun, seorang musafir masih memiliki pilihan untuk tetap berpuasa jika ia merasa mampu. Rasulullah Saw. sendiri terkadang tetap berpuasa dalam safarnya. Tetapi dalam kondisi yang sangat sulit, beliau membatalkan puasanya. 

Dalam sebuah hadis, Jabir bin ‘Abdillah meriwayatkan:

"Bukanlah suatu kebaikan jika seseorang berpuasa ketika ia bersafar." (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Orang yang Sudah Tua Renta dan Orang Sakit yang Tak Bisa Sembuh

Orang yang telah lanjut usia dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk berpuasa diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Mereka tidak diwajibkan qadha puasa Ramadhan, tetapi cukup menggantinya dengan membayar fidyah puasa.

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184).

qadha puasa dapat dilakukan dengan memberikan makanan ataupun membayar fidyah berupa uang tunai

Kondisi ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak memiliki harapan sembuh. Para ulama menyamakan orang ini dengan orang tua renta yang tidak mampu berpuasa. Oleh karena itu, mereka tidak diwajibkan mengganti puasa Ramadhan di hari lain, tetapi cukup menunaikan fidyah puasa sesuai ketentuan syariat.

4. Wanita Hamil dan Menyusui

Wanita hamil dan menyusui yang khawatir bahwa puasa akan membahayakan dirinya atau bayinya diperbolehkan tidak berpuasa. Rasulullah Saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah meringankan setengah salat bagi musafir, dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil, dan menyusui." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Namun, ada perbedaan pendapat tentang kewajiban wanita hamil dan menyusui setelah meninggalkan puasa. Ada yang berpendapat cukup dengan qadha. Ada pula yang mewajibkan fidyah, tergantung alasan ia tidak berpuasa. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan khusus mengenai qadha dan fidyah.

Ketentuan Qadha Puasa Ramadhan

Qadha puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi seseorang yang tidak dapat berpuasa di bulan Ramadhan karena alasan tertentu yang dibenarkan dalam syariat. Kewajiban ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an:

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185).

Dari ayat ini, jelas bahwa mengganti puasa Ramadhan diwajibkan bagi mereka yang memiliki uzur syar'i, seperti sakit, perjalanan jauh, atau kondisi lain yang menyulitkan puasa.

Selain itu, wanita yang mengalami haid di bulan Ramadhan juga wajib mengganti puasanya setelah Ramadhan berakhir. Kewajiban qadha ini ditegaskan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata:

"Kami dulu mengalami haid, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat." (HR. Muslim no. 335).

Cara Mengqadha Puasa

Dalam mengqadha puasa Ramadhan, seseorang tidak wajib melakukannya secara berturut-turut, tetapi boleh dilakukan secara terpisah. Hal ini berdasarkan firman Allah:

"Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185).


Baca Juga:

5 Manfaat Berpuasa bagi Tubuh


Dalam tafsir ayat ini, Ibnu Abbas menyatakan bahwa seseorang boleh mengqadha puasanya secara terpisah atau tidak berurutan, asalkan jumlah hari yang ditinggalkan tetap terpenuhi. Namun, lebih utama untuk segera menunaikan qadha tanpa menundanya terlalu lama. 

"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (QS. Al-Mu’minun: 61).

Ayat ini mengajarkan bahwa seorang Muslim hendaknya bersegera dalam melaksanakan kewajiban, termasuk dalam hal qadha puasa Ramadhan.

Tidak Wajib Qadha bagi Orang yang Meninggal 

Apabila seseorang meninggal dunia dan masih memiliki utang qadha puasa Ramadhan, maka ada dua kemungkinan hukum yang berlaku. Jika ia meninggalkan puasa dengan alasan yang sah (seperti sakit yang berlanjut hingga wafat), maka ia tidak berdosa dan tidak wajib qadha atasnya, baik oleh ahli waris maupun dengan membayar fidyah puasa. 

Namun, jika ia mampu mengqadha tetapi menunda-nunda hingga wafat, maka menurut mayoritas ulama, ahli warisnya diperbolehkan berpuasa atas namanya atau membayarkan fidyah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

"Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa, maka walinya boleh berpuasa untuknya." (HR. Bukhari No. 1952 dan Muslim No. 1147)

Pendapat lain menyatakan bahwa membayar fidyah puasa lebih utama, yakni memberikan makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Pendapat ini didasarkan pada praktik sebagian sahabat Nabi. 

Oleh karena itu, jika seorang muslim meninggal dalam keadaan masih memiliki utang puasa. Keluarga sebaiknya memilih antara mengqadha atau membayar fidyah sesuai dengan keadaan dan kemampuan mereka.

Batas Waktu Qadha Puasa Ramadhan

Seseorang yang memiliki hutang puasa Ramadhan wajib menggantinya sebelum datang Ramadhan berikutnya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

"Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan, dan aku tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban." (HR. Bukhari no. 1950, Muslim no. 1146).

Ini menunjukkan bahwa qadha boleh ditunda, tetapi tetap harus diselesaikan sebelum Ramadhan berikutnya. Namun, jika seseorang menunda qadha puasa hingga melewati Ramadhan berikutnya tanpa uzur, maka menurut mayoritas ulama, ia harus mengqadha puasanya serta membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang belum diqadha. 

Ketentuan Fidyah Puasa Ramadhan

Fidyah adalah istilah yang berasal dari kata (فدية) yang berarti tebusan atau pengganti. Dalam konteks puasa, fidyah diberikan dalam bentuk makanan kepada fakir miskin, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184).

Dalam hukum Islam, fidyah puasa hanya berlaku bagi mereka yang memiliki uzur syar’i, seperti orang tua renta atau penderita penyakit kronis yang harapan kesembuhannya kecil. Fidyah tidak dapat menggantikan kewajiban qadha puasa Ramadhan bagi orang yang masih mampu berpuasa di kemudian hari.

fidyah puasa ramadan bisa diterapkan sesuai syarat dan ketentuan

Hukum Tidak Puasa dan Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui

Hukum tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui diperbolehkan jika ada kekhawatiran terhadap kesehatan dirinya atau bayinya. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:

a. Wajib Qadha dan Fidyah

Pendapat pertama menyatakan bahwa jika seorang wanita berbuka karena takut bayinya kekurangan gizi, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah. "Wanita hamil dan menyusui, jika mereka takut terhadap anak-anak mereka, maka mereka boleh berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap harinya." (HR. Abu Dawud).

b. Hanya Wajib Qadha

Pendapat lain mengatakan bahwa mereka hanya diwajibkan untuk mengganti puasa Ramadhan di kemudian hari tanpa membayar fidyah. Pendapat ini didasarkan pada perumpamaan bahwa wanita hamil dan menyusui sama seperti orang sakit yang bisa sembuh dan tetap memiliki kesempatan untuk berpuasa di lain waktu.

Kewajiban Fidyah bagi Orang yang Menunda Qadha Puasa Tanpa Udzur

Orang yang menunda qadha puasa Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar’i dikenakan fidyah sebagai denda. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama berdasarkan perkataan Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, yang menyatakan bahwa seseorang yang menunda qadha puasa tanpa alasan harus memberi makan satu orang miskin setiap harinya.

Namun, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa fidyah tidak diwajibkan dalam kasus ini, dan cukup hanya dengan mengqadha puasanya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Syaikh Ibnu Utsaimin yang menyatakan bahwa tidak ada nash (dalil) yang secara eksplisit mewajibkan fidyah bagi orang yang menunda qadha tanpa uzur.

Cara Membayar Fidyah

Fidyah dibayarkan dengan memberikan makanan kepada fakir miskin. Berdasarkan hadits Rasulullah Saw. dan pendapat para ulama, cara membayar fidyah adalah sebagai berikut:

  1. Jenis makanan: Biasanya berupa makanan pokok seperti beras, gandum, atau kurma sesuai dengan kebiasaan setempat.

  2. Jumlah: Setiap hari yang ditinggalkan setara dengan sekitar satu mud (± 750 gram) makanan pokok, sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah tua.

  3. Cara pemberian: Bisa diberikan langsung kepada fakir miskin atau melalui lembaga amil zakat yang terpercaya.

Apakah Fidyah Bisa Diganti dengan Uang?

Dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, fidyah puasa harus diberikan dalam bentuk makanan dan tidak boleh diganti dengan uang. Hal ini berdasarkan dalil yang menyebutkan "memberi makan seorang miskin" dalam QS. Al-Baqarah: 184.


Baca Juga:

Bayar Hutang Puasa Dengan Fidyah


Namun, menurut mazhab Hanafi, fidyah puasa boleh diberikan dalam bentuk uang senilai harga makanan yang seharusnya diberikan, dengan tujuan memudahkan fakir miskin memenuhi kebutuhannya. Pendapat ini sering dipilih di era modern karena lebih praktis dan sesuai dengan kebutuhan penerima. 

Fidyah adalah bentuk keringanan bagi mereka yang benar-benar tidak mampu berpuasa karena kondisi tertentu. Namun, tidak semua orang yang meninggalkan puasa dapat menggantinya dengan fidyah. 

Jika terdapat uzur syari dan terpaksa tidak puasa Ramadhan, lebih utama mengganti puasa Ramadhan bagi mereka yang masih memiliki kesempatan dan kemampuan untuk berpuasa di kemudian hari. Oleh karena itu, memahami syaratnya puasa serta ketentuan qadha dan fidyah menjadi hal penting agar tidak salah dalam mengamalkan ibadah di bulan suci Ramadhan.





Baca Juga Artikel Lainnya