3 Fase Pembagian
Bulan Ramadan dalam Hadits
10 hari pertama Ramadan adalah rahmat, 10 hari kedua Ramadan adalah ampunan, dan 10 hari ketiga ramadan disebut pembebasan dari api neraka. Itulah 3 fase pembagian bulan Ramadan yang mungkin sering kita dengar.
Sebenarnya, apa dalil yang mendasari pembagian bulan Ramadan tersebut? Bagaimana caranya kita bisa memperoleh keutamaan 10 hari pertama Ramadan, 10 hari kedua, dan 10 hari terakhir Ramadan sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW?
Hadits 3 Fase Pembagian Bulan Ramadan
Pembagian Bulan Ramadan seringkali disebut memiliki tiga fase yang penting dalam perjalanan ibadah umat Muslim. Fase-fase ini memandu umat Muslim dalam menjalani Ramadan dengan penuh kesadaran dan penghayatan yang mendalam terhadap nilai-nilai ajaran Islam.
Berikut penjelasan mengenai tiga fase pembagian Bulan Ramadan:
1. Fase Pertama: Rahmat
10 hari pertama Ramadan adalah rahmat. Fase pertama Ramadan ditandai dengan kedatangan bulan suci ini sebagai rahmat dari Allah SWT kepada umat manusia. Saat awal Ramadan tiba, umat Muslim disambut dengan keberkahan, rahmat, dan peluang besar untuk memperbaiki diri serta mendekatkan diri kepada-Nya.
2. Fase Kedua: Ampunan
Setelah merasakan rahmat dan berkah Ramadan, umat Muslim memasuki fase kedua yaitu fase maghfirah, yang artinya pengampunan. 10 hari kedua Ramadan adalah ampunan. Pada fase ini, umat Muslim dianjurkan untuk lebih fokus dalam bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan.
Kita perlu memperbaiki hubungan dengan Allah SWT dan sesama manusia. Maghfirah menjadi kesempatan emas untuk membersihkan jiwa dan hati dari beban dosa-dosa masa lalu.
3. Fase Ketiga: Pembebasan Api Neraka
10 hari ketiga Ramadan disebut periode yang sangat penting bagi umat Muslim karena kesempatan pembebasan dari siksa api neraka. Di malam-malam terakhir Ramadan, umat Muslim dapat berharap mendapatkan ampunan dari dosa-dosa dan meraih pembebasan dari siksa api neraka.
Penjelasan mengenai 3 fase pembagian bulan Ramadan tersebut berdasarkan hadits berikut:
Dari Abu Hurairah, “Ramadhan itu adalah bulan yang awalnya penuh dengan rahmat. Di pertengahannya penuh dengan ampunan. Dan, di ujungnya pembebasan dari api neraka.” (HR Ibnu Abi Dunya dan Ibnu 'Asakir).
Telah diriwayatkan dari Salman bahwa, “Ramadhan adalah bulan yang awalnya penuh rahmat, DI pertengahannya penuh ampunan dan fase terakhirnya pembebasan dari api neraka.” (HR Al Baihaqi dalam Syu'bul Iman).
Status Hadits 3 Fase Pembagian Ramadan
Hadits tentang 3 fase pembagian bulan Ramadan diriwayatkan oleh Al-'Uqaili dalam kitab Adh-Dhu'afa', Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikhu Baghdad, Ibnu Adiy, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir. Meskipun hadits ini sering disampaikan, namun menurut Imam Suyuthi, status kekuatan hadits ini dha'if atau lemah.
Sanad atau rantai perawinya adalah Sallam bin Sawar dari Maslamah bin Shalt dari Az Zuhri dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW. Pendapat Ibnu Hibban dalam kitab Al-Majruhin menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan dari dua perawi tersebut tidak dapat dijadikan pegangan hukum kecuali ada jalur riwayat lain yang lebih kuat dan jelas.
Hadits tentang fase pembagian bulan Ramadan didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari (10/383), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), Al Albani dalam Takhrij Al Misykah (1906), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110).
Bagaimana menyikapi hadits tersebut? Hadits-hadits terkait fadhail amal (keutamaan beramal) yang dhaif (lemah) dapat diterapkan dalam konteks ceramah atau tausiyah dengan dua syarat penting. Menurut Mahmud al-Thahhan, syarat pertama yaitu tidak berkaitan dengan akidah (keyakinan) seperti sifat Allah SWT, dan yang kedua tidak berhubungan dengan hukum syariat seperti halal dan haram.
Beberapa ulama seperti Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi, dan Ahmad bin Hanbal memiliki sikap toleransi terhadap hadits dhaif dalam konteks anjuran, ancaman, kisah, dan semacamnya. Namun, ketika seorang penceramah mengetahui bahwa hadits tersebut dhaif, hendaknya tidak meriwayatkannya atau menyampaikan dengan sighat jazm (sighat yang meyakinkan bahwa itu benar-benar dari Rasulullah), seperti lafaz "Qâla Rasûlullah" dan sebagainya.
Kiai Ali Mustafa Yaqub menekankan bahwa hadits shahih tentang keutamaan ibadah di bulan Ramadan sudah cukup untuk dijadikan dasar, tanpa harus menggunakan hadits dhaif atau maudhu' (palsu). Dengan memilih hadits yang shahih dan kuat, kita dapat menghindari risiko penyebaran informasi yang tidak benar dan tetap mengikuti ajaran agama secara hati-hati dan berlandaskan dalil yang shahih.
Ramadhan Seluruhnya Adalah Rahmat, Ampunan, dan Pembebasan dari Neraka
Bulan Ramadan dari hari pertama sampai hari terakhir merupakan momen yang penuh berkah, ampunan, dan kesempatan besar untuk mendapatkan pembebasan dari siksa api neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW, bulan Ramadan adalah waktu yang istimewa.
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Siapapun yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa puasa Ramadan bukan hanya sebagai kewajiban ibadah, tetapi juga sebagai sarana mendapatkan ampunan dan keberkahan dari Allah SWT.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al Khudri juga menguatkan pentingnya bulan Ramadan dalam mendapatkan pembebasan dari siksa api neraka. Dalam hadits ini, Rasulullah SAW bersabda:
"Pada awal malam bulan Ramadan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup." (HR. Tirmidzi).
Dalam hadits lainnya, Nabi Muhammad SAW juga menyatakan, "Sesungguhnya di setiap hari dan malam bulan Ramadan, dari Allah ada pembebasan dari api neraka. Dan bagi setiap Muslim ada doa yang jika ia berdoa dengannya maka akan diijabah." (HR. Ahmad, Al Bazzar, dan Al Haitsami).
Bulan Ramadan seluruhnya adalah kesempatan untuk pembebasan dari siksa api neraka, memperoleh keberkahan dan ampunan, serta mendapatkan banyak keutamaan. Tidak terbatas pada 10 hari pertama, kedua, atau terakhir Ramadan saja.
Oleh karenanya, kita sangat dianjurkan untuk meningkatkan ibadah selama bulan Ramadan, seperti shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan sedekah. Manfaat sedekah di bulan Ramadan tidak sebatas saling berbagi, namun mencakup aspek yang luas.
Manfaat sedekah di bulan Ramadan bisa dinikmati oleh penerima maupun pemberinya, sekaligus bisa mengurangi kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Beberapa hadits shahih juga menjelaskan betapa berlimpahnya manfaat sedekah di bulan Ramadan.
Dari Anas dikatakan, Wahai Rasulullah, sedekah apa yang nilainya paling utama? Rasul menjawab, “Sedekah di bulan Ramadhan” (HR At-Tirmidzi).
Rasulullah saw adalah orang paling dermawan di antara manusia lainnya, dan ia semakin dermawan saat berada di bulan Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim).
10 hari pertama Ramadan adalah rahmat, 10 hari kedua Ramadan adalah ampunan, dan 10 hari ketiga ramadan disebut pembebasan dari api neraka. Dalam konteks yang lebih luas, pembagian ini menggambarkan perjalanan spiritual umat Muslim selama bulan suci Ramadan.
Dalam memahami dan menyampaikan informasi mengenai pembagian bulan Ramadan menjadi tiga fase tersebut, penting untuk menjaga keseimbangan antara kehati-hatian dalam menggunakan hadits dhaif dan pentingnya menyampaikan pesan-pesan kebaikan dan keutamaan ibadah.
Selain itu, kita juga perlu mengingat bahwa ibadah di bulan Ramadan lebih dari menjalankan puasa, tetapi juga tentang meningkatkan kualitas seluruh ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amal kebaikan dan introspeksi diri. Sehingga kita bisa mendapatkan keberkahan, ampunan, dan kesempatan untuk mendapatkan pembebasan dari siksa api neraka.