Siap Menikah di Bulan Syawal?
hero

Siap Menikah di Bulan Syawal?

1 April 2025 |Artikel

Dalil menikah dalam Islam telah banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Ini menunjukkan bahwa menikah adalah sunnah Rasulullah Saw. yang membawa keberkahan dan ketenteraman bagi pasangan suami istri.

Secara bahasa, nikah (النِّكَاحُ) berasal dari kata adh-dhamm wa al-jam‘u (الضم والجمع) yang berarti “menyatukan” atau “menggabungkan dua hal.” Kata ini juga merujuk pada hubungan suami istri yang halal, sesuai dengan tujuan pernikahan dalam Islam untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan menjaga kehormatan.

Setelah Idulfitri, biasanya banyak orang melangsungkan pernikahan karena bulan Syawal dianggap sebagai bulan yg baik untuk menikah. Namun, benarkah menikah di bulan Syawal memiliki keutamaan khusus, atau sekadar kebiasaan turun-temurun?

Macam-Macam Hukum Menikah Menurut Islam

Pada dasarnya, menikah merupakan perintah Allah Swt. yang memiliki nilai ibadah jika dilakukan dengan niat dan cara yang sesuai dengan ketentuan Islam. Allah Swt. berfirman:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32).


Baca Juga:

Keutamaan Bulan Syawal


Dalil menikah juga disebutkan dalam hadits Rasulullah Saw. yang menekankan bahwa menikah adalah salah satu sunnah Nabi. Bahkan, Rasulullah Saw. tidak mengakui orang-orang yang tidak mau menikah tanpa alasan syar’i sebagai umatnya. 

"Menikah adalah bagian dari sunnahku. Barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Ibnu Majah No. 1846).

Hanya saja, kondisi dan kesiapan setiap orang untuk menikah berbeda-beda. Sehingga tidak serta-merta hukum menikah menjadi wajib bagi semua orang. Terdapat macam-macam hukum menikah sesuai kondisi setiap pasangan, antara lain:

1. Sunnah (Dianjurkan)

Menikah menjadi sunnah bagi seseorang yang memiliki keinginan dan kebutuhan untuk menikah serta telah memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi istri. Dalam kondisi ini, pernikahan sangat dianjurkan karena menjaga kehormatan diri, menyalurkan fitrah manusia secara halal, serta menghindarkan dari zina dan perbuatan maksiat. 

Dalil menikah yang mendukung anjuran ini adalah sabda Rasulullah Saw., "Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan." (HR. Bukhari dan Muslim). 

2. Mubah (Boleh, tetapi Tidak Dianjurkan)

Menikah dalam kondisi ini diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan jika seseorang merasa membutuhkan pernikahan namun belum memiliki kesiapan finansial yang memadai. Dalam keadaan ini, Islam tidak melarang pernikahan, tetapi lebih menyarankan agar seseorang menahan diri hingga mampu. 

bulan syawal biasanya diidentikan dengan bulan baik untuk menikah benarkah?

Nabi Muhammad Saw. memberi solusi bagi mereka yang belum mampu menikah dengan memperbanyak puasa sunnah, sebagaimana sabdanya, "Barang siapa belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi perisai baginya." (HR. Bukhari dan Muslim). 

3. Makruh (Sebaiknya Dihindari)

Pernikahan dapat menjadi makruh jika seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung nafkah. Sehingga menikah dapat berpotensi menimbulkan masalah, seperti kesulitan ekonomi dan ketidakmampuan menjalankan hak serta kewajiban dalam rumah tangga. 

Islam tidak melarang pernikahan dalam situasi ini, tetapi lebih mengarahkan agar seseorang mempertimbangkan dengan matang apakah pernikahan tersebut akan membawa manfaat atau justru beban tambahan. Ulama menyatakan bahwa jika pernikahan berisiko menimbulkan kesulitan yang lebih besar, maka lebih baik ditunda sampai kondisi memungkinkan.

4. Wajib (Harus Menikah)

Menikah menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina jika tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kesiapan untuk berumah tangga. Dalam kondisi ini, pernikahan bukan sekadar anjuran, tetapi menjadi suatu kewajiban karena merupakan satu-satunya cara untuk menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan haram. 

Hal ini sesuai dengan prinsip Islam bahwa segala sesuatu yang menjadi sarana untuk mencegah maksiat dapat menjadi wajib hukumnya. Jika seseorang sudah berada dalam situasi seperti ini, menunda pernikahan justru dapat menimbulkan dosa akibat tidak mampu menjaga diri dari perbuatan terlarang.

5. Haram (Dilarang Menikah)

Hukum menikah menjadi haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab dalam pernikahan, baik dari segi nafkah, hak-hak pasangan, maupun aspek fisik dan emosional. Jika seseorang tetap memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi ini, pernikahan dapat menjadi sumber ketidakadilan dan penderitaan bagi pasangan. 


Baca Juga:

B1SA : Bangun 1000 Sumber Air Bersih


Islam sangat menekankan tanggung jawab dalam pernikahan, sebagaimana firman Allah Swt., "Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang baik..." (QS. An-Nisa: 19). Jika seseorang mengetahui bahwa ia tidak dapat memenuhi hak-hak pernikahan, maka lebih baik baginya untuk tidak menikah, karena pernikahan dalam keadaan ini justru dapat mendatangkan mudarat.

Hukum Menikah di Bulan Syawal

Menikah di bulan Syawal memiliki sejarah tersendiri dalam Islam. Pada masa jahiliyah, masyarakat Arab memiliki kepercayaan bahwa menikah di bulan ini membawa kesialan dan rumah tangga yang dibangun akan mudah hancur. Mereka meyakini bahwa kata "Syawal" berasal dari istilah yang menggambarkan unta betina yang menolak pejantan, sehingga dianggap sebagai pertanda buruk bagi pernikahan. 

Rasulullah Saw. membantah keyakinan ini dengan menikahi Aisyah Ra. di bulan Syawal dan memulai kehidupan rumah tangga mereka di bulan yang sama. Dengan tindakan ini, beliau menegaskan bahwa tidak ada bulan yang buruk untuk menikah, termasuk bulan Syawal. Hal ini menjadi bukti bahwa Islam membebaskan umatnya dari takhayul yang tidak berdasar dan menunjukkan bahwa pernikahan dapat dilakukan kapan saja sesuai kesiapan pasangan.

Dalil menikah di bulan Syawal sebenarnya tidak disebutkan secara ekplisit dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah Saw. Namun, bulan Syawal memang merupakan bulan yang baik untuk menikah berdasarkan riwayat dari Aisyah Ra.

“Dari Aisyah RA ia berkata, ‘Rasulullah SAW menikahi aku pada bulan Syawal dan menggauliku (pertama kali juga) pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau Saw. yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?’” (HR. Muslim).

Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis ini menjadi dasar bagi ulama mazhab Syafi'i dalam menetapkan hukum menikah di bulan Syawal sebagai sesuatu yang dianjurkan. Dalil menikah ini sekaligus membantah keyakinan jahiliyah yang menganggap bulan ini membawa kesialan bagi pernikahan. 

Namun, anjuran ini bukan berarti menikah di bulan lain kurang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam Hasyiyatus Syirwani, pernikahan bisa dilaksanakan kapan saja sesuai dengan kesiapan pasangan. Bahkan Rasulullah Saw. menikahkan putrinya, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib Ra. pada bulan Shafar. 

Oleh karena itu, menikah di bulan Syawal memang dianjurkan sebagai bentuk meneladani Rasulullah Saw. dan meluruskan keyakinan keliru. Namun, hukum menikah di bulan Syawal bukan suatu kewajiban serta bukan satu-satunya waktu yang utama untuk menikah.

Doa Setelah Akad Nikah

Selain mempersiapkan pernikahan secara lahiriah, pasangan juga dianjurkan untuk membaca doa setelah akad nikah atau doa setelah menikah. Harapannya agar rumah tangga yang dibangun penuh dengan keberkahan dan rahmat dari Allah Swt.


Baca Juga:

Sedekah 1 Juta Al Qur'an Untuk Indonesia


Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra., Rasulullah Saw. mengajarkan doa setelah akad nikah, yakni:

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ

Bârakallâhu laka wa bâraka ‘alaika wa jama‘a bainakumâ fî khairin.

Artinya: "Semoga Allah memberkahimu dalam suka dan duka serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan."

Selain doa yang diajarkan Rasulullah Saw., para ulama juga sering membacakan doa setelah menikah sebagai tambahan untuk memohon keharmonisan dan keberkahan bagi pasangan pengantin. Salah satu doa yang sering dibaca adalah:

اَللّٰهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ اٰدَمَ وَحَوَّاءَ وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَسَارَةَ وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ سَيِّدِنَا يُوْسُفَ وَزُلَيْخَاءَ وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَيِّدَتِنَا خَدِيْجَةَ الْكُبْرَى وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ سَيِّدِنَا عَلِيِّ وَسَيِّدَتِنَا فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءَ

Allâhumma allif bainahumâ kamâ allafta baina Adam wa Hawwa, wa allif bainahumâ kamâ allafta baina sayyidinâ Ibrâhîm wa Sârah, wa allif bainahumâ kamâ allafta baina sayyidinâ Yûsuf wa Zulaikha, wa allif bainahumâ kamâ allafta baina sayyidinâ Muhammadin shallallâhu ‘alaihi wa sallama wa sayyidatinâ Khadîjatal kubrâ, wa allif bainahumâ kamâ allafta baina sayyidinâ ‘Aly wa sayyidatinâ Fâthimah az-Zahrâ.

Artinya: "Ya Allah, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Adam dan Hawa, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Ibrahim dan Sarah, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Yusuf dan Zulaikha, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Baginda Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah Al-Kubra, dan rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Ali dan Fatimah Az-Zahra."

Membaca doa setelah akad nikah merupakan harapan agar rumah tangga yang dibangun selalu mendapat berkah dan perlindungan dari Allah Saw. Dalil menikah dalam Islam menunjukkan bahwa setiap pasangan dianjurkan untuk memulai kehidupan rumah tangga dengan penuh harapan, doa, dan keimanan, tanpa terikat oleh takhayul atau tradisi yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.

Hal ini sejalan dengan sunnah Rasulullah Saw. yang menikahi Aisyah di bulan Syawal, sebagai bentuk pengingkaran terhadap keyakinan jahiliyah yang menganggap bulan ini membawa kesialan dalam pernikahan. Justru, pernikahan di bulan Syawal menjadi bukti bahwa Islam menghapus mitos-mitos yang tak berdasar dan menegaskan bahwa semua waktu adalah baik

Baca Juga Artikel Lainnya